MembumikanTeologi Melalui Teopraksis (Sebuah Tinjauan Reflektis)

MEMBUMIKAN TEOLOGI MELALUI TEOPRAKSIS: SEBUAH TINJAUAN      REFLEKTIF           


 Oleh    :      Yuliana Tati Haryatin *



PENGANTAR

Kamis  21 Mei tahun 2020 pukul 20.00 witeng . Aku  berkutat dengan laptopku  mengerjakan tugas  profesi. Akhir--akhir ini,  kesibukanku sebagai seorang guru memang semakin meningkat karena harus mengelola nilai tugas  peserta didik baik sebelum maupun selama masa pandemi covid -19 ini. Di tengah kesibukan itu,  tiba-tiba  handphone-ku  berdering, tanda ada pesan masuk di aplikasi WhatsApp  saya.  Siapakah gerangan itu dan apa isi pesannya ? Dengan rasa penasaran,  aku mengambil telpon genggamku, membuka aplikasi WhatsApp,   dan membaca pesan masuk tersebut.  Nah, ternyata saya  mendapat permintaan dari seorang dosen hebat  di UNIKA St. Paulus Ruteng  yaitu bpk Dr. Marsel R. Payong.  Beliau meminta saya untuk menulis salah satu  artikel  untuk  sebuah buku kenangan atas HUT ke-70 dari Pater Marsel Agot, SVD. Wah, saya sungguh merasa terhormat mendapat kepercayaan ini  apalagi diminta oleh seorang dosen yang saya tahu sangat  hebat dan  luar biasa.

Tema umum buku tersebut adalah  “Berteologi Merawat Keutuhan Ciptaan”.  Bagi saya, tema ini begitu menarik dan menantang, mengingat salah satu isu global yang sering dibahas saat ini adalah  tentang lingkungan hidup. Selain itu, kesempatan ini   adalah momen yang sangat berahmat karena tulisan ini adalah salah satu bentuk apresiasi  saya  untuk pater Marsel Agot, SVD yang telah  memberikan banyak inspirasi bagi banyak orang  dalam merawat lingkungan hidup.  Karena itu, dalam keterbatasan saya,  saya  coba mengangkat salah satu sub tema dari tema umum di atas yaitu membumikan teologi melalui teopraksis.

Saya membedahnya dari aspek ekologis, dan mengaitkannya dengan kesaksian saya tentang Pater Marsel yang telah  membumikan teologi menjadi teopraksis terutama dari aspek ekologis.  Kesaksian tersebut diperkuat oleh pengalaman saya bersua dengan  pater sejak beliau menjadi  salah satu dosen saya  di STKIP  (sekarang UNIKA) St. Paulus Ruteng sampai kini , saat kami berdomisili di tempat yang sama yaitu Labuan Bajo,  sebuah kota yang seringkali dijuluki sebagai surganya pulau Flores karena berbagai panorama pantai, laut, dan alamnya yang begitu indah dan menakjubkan.  Jadi , saya mengenal banyak tentang beliau terutama kiprahnya di bidang lingkungan hidup.

                Kiprah Pater Marsel dalam bidang lingkungan hidup, saya tahu, bernilai sangat tinggi, apalagi saat ini ketika bumi kita mengalami kerusakan hebat. Saat ini. Banyak ahli  mengatakan bahwa penyebab utama kerusakan itu adalah ulah manusia. Manusia tidak lagi menjadi rekan kerja Allah yang seutuhnya. Padahal dalam teks Kej 1:26-31, Allah telah memberikan kepercayaan kepada manusia untuk mengelola alam semesta ini secara baik dan bertanggung jawab. Sayangnya, kerakusan dan ketamakan manusia, membuat alam yang semula begitu indah dan harmonis, akhirnya hancur berantakan.

Di tengah kerusakan alam semesta ini, kita dipanggil untuk melakukan aksi nyata untuk memulihkannya sesuai dengan maksud penciptanya. Karena itu,  jika mau bumi yang sedang sakit ini sembuh,  manusialah yang paling bertanggungjawab untuk menyembuhkan  dengan cara , antara lain , kembali bersahabat dengan alam.  Itu, tentu selaras dengan teologi ekologis. Walaupun demikian, teori saja, rupanya tidak cukup. Kini saatnya kita perlu berteopraksis:   mempraktikkan Sabda Tuhan  itu dalam alam nyata. Salah satu contohnya adalah  dalam aspek ekologis. Dengan kata lain, di tengah kerusakan bumi ini, saatnya kita berjuang  untuk membumikan teologi menjadi teopraksis. Kita dipanggil untuk merawat keutuhan ciptaan Tuhan dengan berteopraksis seperti yang dilakukan oleh Pater Marsel Agot,  SVD.

MEMBUMIKAN TEOLOGI

Dalam “Kamus Teologi”, yang diterjemahkan oleh I. Suharyo, kata”teologi”  berasal dari dua kata Yunani yaitu ‘theos” yang berarti Tuhan dan “logoi” yang berarti pengetahuan. Dengan demikian, secara sederhana, teologi berarti pengetahuan mengenai Allah (Deki, hlm. 318, 2007). Dari pengertian itu, dapat disimpulkan bahwa teologi adalah disiplin ilmu yang  secara khusus mempelajari tentang Allah.  Berbicara tentang disiplin ilmu mengenai Allah berarti , kita masuk dalam dunia intelektual yang didalamnya ada serentetan refleksi yang rasional, sistematias dan ilmiah tentang  Allah.  Refleksi iman dalam bingkai intelektual.

Bagaimana supaya refleksi yang rasional, ilmiah dan sistematis bisa berdaya guna dan bermanfaat untuk kehidupan di dunia ini? Jika teologi terpenjara dalam ruang intelektual yang bersifat teoretis semata, apakah tujuan mempelajari teologi sudah tercapai?  Untuk menjawab pertnyaan ini, mari kita berpedoman pada Sabda Suci dalam Kitab Suci Perjanjian Baru ,  yang ditulis  St. Yakobus dalam suratnya pada pasal 2, ayat 7:  “Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati".

Teks ini, sangat jelas maknanya.  Iman tidak boleh menjadi substansi yang statis, tidak bergerak, bahkan mati. Iman itu harus hidup dan berdaya pikat. Nah, bagaimana supaya iman itu hidup dan berdaya pikat? Caranya adalah melaui perbuatan nyata. Teologi harus masuk dalam ranah aplikasi. Teologi harus diwujudkan dalam aksi nyata. Dengan kata lain, kita harus membumikan teologi  menjadi teopraksis.  

                Apa artinya membumikan teologi menjadi teopraksis?  Menurut  penulis,  membumikan teologi menjadi teopraksis artinya mempraktikkan hasil  refleksi rasional, kajian ilmiah dan sistematis mengenai  Tuhan itu  dalam kehidupan nyata. Meskipun teologi merupakan refleksi sistematis, ia mesti keluar dari prasangka yang menyanderanya untuk berkiprah hanya sebatas diskursus intelektual semata. Teologi adalah suatu disiplin ilmu pengetahuan yang praksis, maka konteks yang tepat bagi kegiatan refleksinya ialah dunia konkret manusia.(Deki, hlm, 318, 2008).

          Ketika teologi diaplikasikan dalam ladang kehidupan konkret  maka refleksi iman itu sungguh-sungguh menghasilkan buah yang nyata. Tentu ini sejalan dengan misi Yesus sendiri yaitu mewartakan Kerajaan Allah di dunia. Dalam teopraksis, kita menghadirkan Allah pencipta, Allah Pengasih, Allah Pemurah, Allah yang Maha Baik, dan kebaikan-kebaikan Allah lainnya. Kalau dalam teologi kita merefleksikan iman secara rasional dan  sistematis bahkan disertai kajian ilmiah tentang Allah, maka dan dalam teopraksis kita menghadirkan wajah Allah secara konkret di bumi ini.

  Dewasa ini, begitu banyak gerakan-gerakan dalam organisaasi-organisasi Gereja ataupun organisasi sosial kemanusiaan yang berusaha untuk membumikan teologi itu. Ada yang membumikan teologi dalam bidang lingkungan hidup, dalam lingkungan sosial kemasyarakatan, dalam lingkungan pendidikan, budaya, politik, dan lain-lain. Semua upayah itu adalah wujud nyata untuk menghadirkan wajah Allah yang  difrefleksikan dalam disiplin ilmu teologi. Di sini, penulis hanya mau mengangkat salah satu sisi dari upaya membumikan teologi kedalam teopraksis, yaitu,  aspek ekologi.

                Jagat raya dengan segala isinya  ini adalah ciptaan  Tuhan yang sungguh menakjubkan. Dalam karya penciptaan, Allah telah menciptakan bumi dengan segala isinya dengan begitu indah dan mengagumkan. Daratan, lautan, matahari, bulan, bintang-bintang, dan segala makhuk diciptakan-Nya dengan begitu ajaib. Kesadaran iman akan Allah Pencipta ini dirumuskan secara jelas dalam teks kitab suci Perjanjian Lama yaitu Kejadian 1:1-2:7.   Dari semua ciptaan yang ada, Manusia mendapat tempat yang istimewa di hatiNya.  Manusia yang telah diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya telah dipercayakan untuk mengelola alam semesta ini  ( bdk. Kej 1:26-31). Manusia diciptakan untuk menjadi rekan kerja Allah di bumi.  Sebagai rekan kerja Allah, manusia diberi tugas yang sangat penting yaitu  merawat, menjaga, dan melestarikan alam semesta ini agar tetap baik adanya. Apakah manusia sudah menjalankan amanat ini dengan baik dan bertanggung jawab?

                Jika kita mau jujur, amanat Tuhan dalam karya penciptaan, tidak dijalankan secara baik oleh manusia. Hal ini ditandai dengan adanya krisis ekologi yang semakin memprihatinkan.  Teolog Jurgen Moltmann  berpendapat bahwa salah satu penyebab terjadinya krisis ekologi adalah cara berpikir yang menempatkan manusia sebagai  penguasa dunia.  (bdk. Deki,  2008: 373). Padahal, menurut Jurgen, manusia adalah “imago mundi”  yang berarti manusia hanyalah salah satu unsur/ bagian dari dunia. Manusia sangat  terikat dan  tergantung kepada ciptaan lainnya. Menurutnya,  sebagai “ imago mundi “ , manusia hendaknya menjadi wakil ciptaan yang bekerja sama, saling berhubungan  dan bergantung satu sama lain dalam kehidupan ini (Deki,  2008: 373).

            Dari  pemikiran Moltmann ini,  sangat jelas kedudukan manusia di antara ciptaan lainnya. Artinya, manusia tidak bisa hidup sendirian di dunia ini. Dia terikat dengan ciptaan lainnya.  Antara manusia dengan ciptaan lainnya  ada saling ketergantungan. Manusia hanyalah bagian dari seluruh ciptaan dan hidupnya disangga oleh alam semesta. Oleh karena itu, manusia yang diciptakan menurut “gambar Allah” tidak hanya dimengerti secara personal , melainkan juga secara sosial dan ekologis, dalam hubungan dan tanggungjawab terhadap kehidupan bersama dan kehidupan alam semesta. (KWI, 2007: 151). Karena itu, sebagai makhluk  yang dikaruniai akal budi dan hati nurani, sudah menjadi kewajiban manusia untuk melestarikan alam ini secara baik dan bertanggung jawab.

KRISIS EKOLOGI

  Salah satu isu global  yang sering dibahas dalam berbagai pertemuan  saat ini, baik di tingkat lokal, tingkat nasional maupun di tingkat dunia adalah persoalan ekologis.  Berbagai data menunjukkan bahwa kerusakan alam pada saat ini sudah berada pada tingkat yang sangat parah dan memprihatinkan. Paus Fransiskus dalam ensiklik "laudato Si" mengangkat beberapa persoalan yang dihadapi dunia terkait krisis ekologi antara lain adanya polusi dan perubahan iklim, masalah air, hilangnya keanekaragaman hayati, penurunan kualitas hidup manusia, dan kemerosotan sosial (bdk. Harun, 2015: 25-40).

Krisis ekologi ini juga sudah diangkat oleh beberapa Paus sebelumnya. Salah satunya,  Paus Yohanes Paulus II dalam amanatnya pada hari Perdamaian Dunia tanggal 8 Desember 1989 mengatakan “ Keseimbangan lingkungan yang halus dijungkirbalikan dengan menghancurkan secara membabibuta hidup binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan atau dengan menghabiskan sumber-siumber alam secara tak bertanggung jawab.” (KWI, 2007: 153). Masih Paus yang sama, dalam sambutannya pada Konggres Internasional mengenai Ekologi mengatakan: "Masalah lingkungan sekarang menjadi begitu luas, sehingga tidak hanya dituntut perhatian kita yang penuh, tetapi juga keterlibatan total, baik pada taraf ilmu maupun dalam keputusan-keputusan politik. Penemuan kembali keseimbangan dalam lingkungan hanya dapat terjadi kalau mau kembali kepada pemahaman yang benar mengenai kuasa manusia atas alam" (KWI, 2007: 152-153). Apa yang diangkat oleh para pemimpin Gereja ini benar adanya. 

          Sebut saja kerusakan hutan di berbagai negara akibat pembabatan liar telah menyebabkan bencana banjir dan tanah longsor. Selain itu, pengelolaan kekayaan hutan selama ini ditujukan untuk melayani kepentingan investasi  tetapi mengabaikan fungsi-fungsi kawasan  hutan sebagai tumpuan keselamatan dan kesejahteraan rakyat.  Pencemaran udara, tanah, dan laut di berbagai belahan bumi ini, semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dampak negatif dari dari pencemaran itu sangat dirasakan oleh semua makhluk hidup yang mendiami bumi ini, terutama manusia yang diberi  mandat untuk menjaga bumi ini tetap utuh.  Suhu bumi dari waktu ke waktu semakin meningkat akibat semakin menipisnya lapisan ozon.

  Belum lagi perusahan tambang  yang menggali permukaan tanah bahkan hingga kedalaman yang tak terbayangkan. Saat menutup pertambangannya, sistem hidrologi sebuah kawasan tertentu pasti akan terganggu. Juga lingkungan sekitar akibat pembuangan limbah ikut tercemar. Dalam konteks ini, Siti Maimunah, Kordinator Jaringan Advokasi Tambang pada tahun 2006 berkata, "Jika dicermati, sebagian besar perusahan tambang menggunakan air langsung dari alam. Di saat yang sama , mereka juga merusak sistem hidrologi tanah sekitarnya melalui penggalian batuan. Saat perusahaan menutup tambangnya , lingkungan dan masyarakat sekitar adalah “pewaris utama” jutaan ton limbah tambang dan kerusakan lingkungan serta sosialnya.”(2006 : hlm. Vi)

Dalam nada yang hampir sama, KWI mengingatkan bahwa "Kesadaran manusia sebaga “gambar Allah”, “wakil Allah”, “pusat dunia”, ini dapat menyeret manusia menjadi pengisap alam semesta , penguasa sewenang-wenang terhadap ciptaan lain.” (2007: 151). Dari waktu ke waktu, kerusakan ekologis semakin parah. Meski demikian,  masih banyak manusia yang tidak sadar dan terus dikuasai nafsu dan keserakahan untuk memperkaya diri, bahkan menghalalkan segala cara untuk mencapai kepentingannya, termasuk cara-cara kotor dan menjijikan. Ekploitasi kekayaan alam dan mengorbankan penduduk lokal sudah sering terjadi.  Begitu banyak cerita pilu tentang hancurnya tempat tinggal penduduk lokal akibat perbuatan biadab dari sergelintir manusia yang diburu harta dan kekuasaan. Ribuan hektar hutan dirusakkan demi kepentingan pertambangan.  Hutan-hutan digundulkan dan dijadikan lahan perkebunan tanpa mempertimbangkan perwatan hutan tertentu  yang mutlak demi ketersediaan sumber air dan penunjang iklim yang sejuk. Saat buminya hancur, tidak ada upaya pemulihan, tetapi ditinggalkan begitu saja, dan selanjutnya mencari lahan baru untuk mengeruk keuntungan dan merusak alam. Peristiwa seperti ini sudah sering terjadi di berbagai belahan bumi ini. Tidak heran kalau bumi ini semakin rusak parah.

PERTOBATAN EKOLOGIS

Di tengah kerusakan alam yang parah itu apa yang harus kita lakukan? Apakah kita membiarkan kerusakan alam itu terus terjadi? Tentu tidak.  Sebagai manusia yang dikaruniai akal budi dan hati nurani, tentu kita dipanggil untuk menyembuhkan bumi yang sudah sakit parah ini. Tak ada ciptan Tuhan di dunia ini yang lebih bermartabat selain manusia. Karena itu, sebagai manusia yang bermartabat, sudah menjadi kewajiban kita untuk  mengatasi krisis ekologi ini secara besar-besaran.

Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si mengajak kita untuk terlibat dalam “aksi global yang terpadu dan segera” untuk mengatasi lingkungan hidup. Paus mendasarkan hidup dan karya Santu Fransiskus dari Asisi sebagai inspirasinya. Santu Fransiskus dari Asisi mengingatkan kita bahwa rumah kita bersama(bumi) bagaikan saudari yng berbagi hidup dengan kita, dan seperti ibu yang jelita yang menyambut kita dengan tangan terbuka.” (bdk. Harum, 2015: 10). Paus mengajak kita untuk mempraktikkan pertobatan ekologis.

Perjuangan merawat dan melestarikan lingkungan hidup adalah wujud nyata membumikan teologi menjadi teopraksis. Sebagai rekan kerja Allah, manusia harus tampil sebagai pemelihara ciptaan. Saatnya kita merawat  kembali bumi  yang sudah terluka ini agar kembali utuh sesuai dengan maksud Penciptanya. Untuk seratus persen pulih dari kerusakan bumi ini mungkin rasanya sulit, tetapi setidaknya, selagi kita bernafas, kita dipanggil untuk menjalankan amanat Tuhan sebagai rekan kerja-Nya dengan menjadi sahabat alam. Salah satu contoh teladan hidup menjadi sahabat bagi alam adalah sosok seorang iman yang sederhana dan bersahaja, yaitu Pater Marsela Agot SVD.

PATER MARSEL AGOT, SVD, SANG PEJUANG LINGKUNGAN HIDUP

Berbicara tentang  tokoh pejuang lingkungan hidup di Keuskupan Ruteng,  nama Pater Marsel Agot, SVD adalah sosok yang selalu disebut-sebut oleh banyak kalangan. Julukan pejuang lingkungan hidup begitu melekat dalam dirinya. Bukan tanpa alasan. Kiprahnya di bidang lingkungan hidup tidak diragukan lagi. Kepeduliannya terhadap lingkungan hidup bukan hanya sekedar berkata-kata, tetapi beliau tunjukkan itu dalam aksi nyata. Apa yang dilakukannya sejalan dengan mottonya “Bila ingin melestarikan alam, mulailah dari diri sendiri.” Motto inilah yang selalu menjadi pegangan hidupnya dan mendorongnya untuk selalu peduli dan mencintai lingkungan hidup.
Alumni STKIP yang berkarya di kota Labuan Bajo saat jadwal perempuan rutin bulanan di kediaman Pater Marsel Agot,SVd,  hotel Prundi hasil karyanya yang sungguh menginspirasi banyak orang. Tempatnya sejuk dan asri. Saat berada di tempat ini, kami merasa seperti berada di taman Firdaus.

Saya mengenal baik Pater ini sejak kuliah di kampus UNIKA St. Paulus Ruteng (saat itu masih disebut STKIP St. Paulus ). Sosoknya  yang bersahaja, rendah hati dan selalu murah senyum dengan siapa saja yang dijumpainya membuat beliau sangat dekat dengan para mahasiswanya. Beliau juga dikenal sebagai sosok imam yang  murah hati dan selalu care  dengan siapa saja.  Dua  hal yang sangat menonjol yang saya tahu dalam seluruh perjalanan panggilan hidupnya yaitu  sosoknya yang murah hati dan kecintaanya kepada lingkungan hidup.

 Kami banyak belajar dari beliau tentang bagaimana bermurah hati kepada semua orang terutama bagi mereka yang sedang menderita dan terlantar. Kami juga banyak belajar dari beliau tentang  bagaimana merawat alam mulai dari hal-hal kecil.  Saat di asrama, kami diajari untuk selalu  membersihkan lingkungan asrama, membuang sampah pada tempatnya, membersihkan/menyikat  got, kamar mandi, wc, kamar tidur dan tempat-tempat lainnya. Hal-hal sederhana itu rutin kami lakukan dan selalu dalam pengawasan beliau sebagai moderator asrama.

Bukan hanya itu, Setiap hari  kami juga diberi tugas untuk  merawat lingkungan kampus agar selalu terlihat asri seperti menata taman bunga dengan membentuknya dalam berbagai formasi: ada yang berbentuk hati, lingkaran,  huruf V, dan berbagai formsi lainnya.  Di tengah taman ditanami berbagai  kembang dengan warna indahnya yang tiada tara. Hati dan mulut kami selalu berdecak kagum akan keajaiban Semesta manakala menyaksikan bunga-bunga cantik  itu bermekaran menghiasi halaman kampus dengan warnanya yang beraneka ragam. Sungguh indah di pandang mata.

Di sekeliling taman dan halaman, kami juga diberi tugas oleh beliau untuk membuat pagar hidup dengan menanam  bonsai, dan ujungnya selalu dipangkas secara teratur sehingga selalu  terlihat rapi dan indah. Selain itu, dengan bimbingan beliau kami juga menanam rumput hijau yang sengaja dipesan secara khusus untuk ditanam di halaman kampus dan di lapangan bola kaki. Tidak hanya sebatas menanam, tetapi beliau selalu mengontrol dan memastikan agar rumput-rumput yang sudah ditanam harus hidup.  Di musim kemarau, rumput-rumput itu disirami secara rutin agar selalu terlihat hijau. Di salah satu pojok kampus, ada hutan buatan yang juga merupakan hasil karya Pater Marsel. Di dalamnya ditumbuhi ratusan Pohon Mahoni yang berjejer rapi da
n sejuk.

Dalam semua yang kami lakukan di atas, Pater sendiri turun  langsung dan menjadi sutradara kami  dalam mengkreasi lingkungan kampus menjadi tempat yang nyaman dan sejuk bagi setiap penghuninya. Pater Marsel Agot telah banyak memberikan inspirasi bagi kami terutama untuk selalu mencintai lingkungan hidup. Kampus itu terlihat asri, sejuk, indah, hijau, karena jasa beliau. Beliau selalu mengajari kami untuk mencintai lingkungan alam mulai dari diri sendiri, mulai dari hal-hal sederhana. Menata taman, menanam bunga, rumput hijau, menanam berbagai jenis pohon, membersihkan got, wc, kamar mandi, ruangan tidur, dan lain-lain, itulah yang selalu beliau praktekkan bersama kami kala itu.  Karena teladan hidupnya ini, kami juluki Pater Marsel Agot sebagai tokoh pejuang dan pencinta lingkungan hidup.
Kebersamaan kami alumni STKIP, saat berkunjung del prundi
Saat ini pater Marsel menetap dan berkarya di kota Labuan Bajo. Tempat yang sekarang menjadi hotel  Prundi  yang sejuk, dulunya sangat gersang dan tanahnya dipenuhi cadas dan bebatuan. Saat ini, tempat itu bagai taman Firdaus. Beberapa kami kami berkunjung ke tempat ini, kami merasa seperti berada di taman Eden karena lingkungannya yang sangat asri dan nyaman.  


Bukan hanya itu.  Di salah satu tempat di kota  Labuan Bajo, pater juga mengubah sebuah tanah yang gersang nan tandus menjadi sebuah hutan yang sangat hijau dan sejuk. Hutan buatan ini diberi nama hutan Solohana. Di dalamnya ditanami ribuan pohon dalam berbagai jenis. Hasilnya sungguh luar biasa. Kini, beberapa mata air baru muncul di tengah hutan buatan itu. Mata air yang sudah membentuk sungai kecil itu kemudian ia menanam bunga teratai.  Saat kita berkunjung ke tempat ini, rindangnya pepohonan ini mampu mengalahkan hawa panas yang menyengat di sekujur tubuh. Kicauan burung di antara ranting pohon terdengar indah dalam hembusan angin yang menyapa kalbu.

Hutan Solohana yang merupakan hasil karya Pater Marsel Agot SVD. Saat ini, hutan buatan ini ditumbuhi berbagai jenis pohon. Selain itu, beberapa mata air baru muncul di tengah hutan ini. Pada mata air yang membentuk sungai kecil ini, beliau menanam bunga teratai. Karya yang menakjubkan
Beliau juga aktif dalam pergerakan masyarakat menolak tambang di wilayah Manggarai Raya. Saya masih ingat, perjuangan Pater dengan sejumlah aktivis lingkungan hidup yang bergabung dalam suatu organisasi masyarakat yang bernama GERAM  (Gerakan Masyarakat Anti Tambang).  Pada waktu itu,  salah satu investor yang bekerja sama dengan pemerintah yang berkuasa saat itu, hedak membuka perusahaan tambang di salah satu tempat wisata andalan di sekitar kota Labuan Bajo.

 Pater dengan sejumlah aktivis lingkungah hidup bekerja siang dan malam menentang dengan keras upaya investor dan penguasa terebut. Tidak mudah memang. Beberapa kali, sejumlah aktivis acapkali diteror dan diancam karena upaya penolakan itu. Tetapi Pater dan aktivis lainnya tak sedikit pun  takut dan gentar.  Perjuangan mereka akhirnya berhasil. Perusahaan tambang tidak diizinkan lagi untuk beroperasi di wilayah tersebut hingga saat ini.

                Contoh-contoh di atas menunjukkan  bahwa Pater sungguh mengaplikasikan teologi menjadi teopraksis. Dari altar gereja menjadi altar alam. Tidak hanya berteori tetapi langsung praktek. Karya hidup yang sungguh indah dan menginspirasi banyak orang. Semangat dan teladan hidupnya telah memberikan contoh kepad masyarakat bahwa penghijauan dapat menyelamatkan bumi ini dari kerusakan lingkungan. Saat pater menyaksikan begitu banyaknya kawasan hutan yang semula sungguh indah dan hijau, tetapi kemuduan berubah dan gundul oleh kejamnya para kontraktor pertambangan dan pembabat liar, hatinya benar-benar hancur dan sedih. Namun, beliau tidak hanya sebatas meratapi alam yang rusak itu. Pater sendiri terjun langsung ke lokasi.  Beliau tidak hanya bersimpati dengan alam tetapi berempati dengan alam. Pater berdiri di paling depan merawat kembali hutan yang rusak itu mulai dari dirinya sendiri.

PENUTUP

Teologi adalah disiplin ilmu yang  secara khusus mempelajari tentang Allah. Agar refleksi iman  yang rasional, ilmiah dan sistematis tentang Allah itu  bisa berdaya guna dan bermanfaat untuk  seluruh kehidupan di dunia ini maka teologi harus masuk dalam ranah aplikasi.  Dengan kata lain, kita harus membumikan teologi  menjadi teopraksis. Hal  ini sejalan dengan misi Yesus sendiri yaitu mewartakan Kerajaan Allah di dunia. Dalam teopraksis,  kita menghadirkan wajah Allah secara konkret di bumi ini. Salah satu upaya membumikan teologi kedalam teopraksis, yaitu,  aspek ekologis.
              
           Dalam karya penciptaan, Allah telah menciptakan bumi dengan segala isinya dengan begitu indah dan mengagumkan. Dari semua ciptaan yang ada, manusia yang telah diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya telah dipercayakan untuk mengelola alam semesta ini  ( bdk. Kej 1:26-31). Sayangnya, manusia tidak mampu menjalankan amanat Tuhan ini dengan baik. Bumi ini tidak lagi indah seperti sedia kala. Di tengah kerusakan alam ini, kita dipanggil untuk melakukan aksi nyata untuk memulihkan alam ini sesuai dengan maksud pencipta-Nya. Saatnya untuk kembali bersahabat dengan alam.

Salah satu contoh teladan hidup menjadi sahabat bagi alam adalah  Pater Marsel Agot, SVD. Kepeduliannya terhadap lingkungan hidup bukan hanya sekedar berkata-kata, tetapi beliau tunjukkan itu dalam aksi nyata. Apa yang dilakukannya sejalan dengan mottonya “Bila ingin melestarikan alam, mulailah dari diri sendiri.” Motto inilah yang selalu menjadi pegangan hidupnya dan mendorongnya untuk selalu peduli dan mencintai lingkungan hidup.  

              Akhirnya, dari ketulusan hati saya ucapkan   selamat ulang tahun kelahiran  yang ke-70 pater. Semoga pater selalu sehat dan bahagia di usia senja ini. Terima kasih sudah menampilkan wajah Allah dalam seluruh karya hidup dan panggilan Pater. Semoga wajah Allah yang telah Pater tampilkan  ini, dapat kami  hayati dalam ziarah  hidup kami di dunia ini.

* Penulis adalah alumnus  PRODI Teologi UNIKA ST Paulus Ruteng , sekarang ,  berkarya di SMAN I Komodo, Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT


REFERENSI:

Deki,  Kanisius T.( Editor). (2008), Menjadi Abdi, Menghalau Gelap Budi, Menyingsing Fajar Pengetahuan. Maumere: Ledalero.

Harun Martim (Penerjemah), 2015. Ensiklik Laudato Si' , Paus Fransiskus, Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama, Jakarta: Obor

Konferensi Wali Gereja Indonesia. 2007. Iman Katolik, Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta: Kanisius

Muhammad Chalid dan Maimunah Siti, (Editor). (2006), Tambang dan Penghancuran Lingkungan,   Jakarta Selatan: Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).
  



Komentar

  1. Tulisan yang luar biasa Ibu dan begitu inspirasi. Membakar semangat untuk lebih sadar menghargai lingkungan sekitar.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih enu molas sudah membaca artikel ini. Salam bumi hijau

      Hapus
  2. Mantap kk senior. Heheheh.
    Saya alumni teologi UNIKA St. Paulus Ruteng

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih yah, sudah membaca tulisanku. Wow.. ternyata kita dididik dalam rahim yang sama. Kalau boleh tahu, alumni tahun berapa pak?

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

STKIP ST.PAULUS RUTENG DALAM BINGKAI KENANGANKU

PPDB SMAN I KOMODO