MembumikanTeologi Melalui Teopraksis (Sebuah Tinjauan Reflektis)
PENGANTAR
Kamis 21 Mei tahun 2020 pukul 20.00 witeng . Aku berkutat dengan laptopku mengerjakan tugas profesi. Akhir--akhir ini, kesibukanku sebagai seorang guru memang semakin meningkat karena harus mengelola
nilai tugas peserta didik baik sebelum
maupun selama masa pandemi covid -19 ini. Di tengah kesibukan itu, tiba-tiba
handphone-ku berdering, tanda ada pesan masuk di aplikasi WhatsApp saya. Siapakah gerangan itu dan
apa isi pesannya ? Dengan rasa penasaran, aku mengambil telpon genggamku, membuka aplikasi WhatsApp, dan membaca pesan masuk tersebut. Nah, ternyata saya mendapat permintaan dari seorang dosen hebat di UNIKA St. Paulus Ruteng yaitu bpk Dr. Marsel R. Payong. Beliau meminta saya untuk menulis salah
satu artikel untuk
sebuah buku kenangan atas HUT ke-70 dari Pater Marsel Agot, SVD. Wah,
saya sungguh merasa terhormat mendapat kepercayaan ini apalagi diminta oleh seorang dosen yang saya
tahu sangat hebat dan luar biasa.
Tema umum buku tersebut adalah “Berteologi Merawat Keutuhan Ciptaan”. Bagi saya, tema ini begitu menarik dan
menantang, mengingat salah satu isu global yang sering dibahas saat ini adalah tentang lingkungan hidup. Selain itu,
kesempatan ini adalah momen yang
sangat berahmat karena tulisan ini adalah salah satu bentuk apresiasi saya
untuk pater Marsel Agot, SVD yang telah memberikan banyak inspirasi bagi
banyak orang dalam merawat lingkungan
hidup. Karena itu, dalam keterbatasan saya, saya coba mengangkat salah satu sub tema dari tema umum di atas yaitu membumikan teologi melalui teopraksis.
Saya membedahnya dari aspek ekologis, dan mengaitkannya dengan kesaksian saya tentang Pater Marsel yang telah membumikan teologi menjadi teopraksis terutama dari aspek ekologis. Kesaksian tersebut diperkuat oleh pengalaman saya bersua dengan pater sejak beliau menjadi salah satu dosen saya di STKIP (sekarang UNIKA) St. Paulus Ruteng sampai kini , saat kami berdomisili di tempat yang sama yaitu Labuan Bajo, sebuah kota yang seringkali dijuluki sebagai surganya pulau Flores karena berbagai panorama pantai, laut, dan alamnya yang begitu indah dan menakjubkan. Jadi , saya mengenal banyak tentang beliau terutama kiprahnya di bidang lingkungan hidup.
Saya membedahnya dari aspek ekologis, dan mengaitkannya dengan kesaksian saya tentang Pater Marsel yang telah membumikan teologi menjadi teopraksis terutama dari aspek ekologis. Kesaksian tersebut diperkuat oleh pengalaman saya bersua dengan pater sejak beliau menjadi salah satu dosen saya di STKIP (sekarang UNIKA) St. Paulus Ruteng sampai kini , saat kami berdomisili di tempat yang sama yaitu Labuan Bajo, sebuah kota yang seringkali dijuluki sebagai surganya pulau Flores karena berbagai panorama pantai, laut, dan alamnya yang begitu indah dan menakjubkan. Jadi , saya mengenal banyak tentang beliau terutama kiprahnya di bidang lingkungan hidup.
Kiprah Pater Marsel dalam bidang lingkungan hidup, saya tahu, bernilai sangat tinggi, apalagi saat ini ketika bumi kita mengalami kerusakan hebat. Saat ini. Banyak ahli mengatakan bahwa
penyebab utama kerusakan itu adalah ulah manusia. Manusia tidak lagi menjadi
rekan kerja Allah yang seutuhnya. Padahal dalam teks Kej 1:26-31, Allah telah
memberikan kepercayaan kepada manusia untuk mengelola alam semesta
ini secara baik dan bertanggung jawab. Sayangnya, kerakusan dan ketamakan
manusia, membuat alam yang semula begitu indah dan harmonis, akhirnya hancur
berantakan.
Di tengah kerusakan alam semesta ini, kita
dipanggil untuk melakukan aksi nyata untuk memulihkannya sesuai dengan
maksud penciptanya. Karena itu, jika mau bumi yang sedang sakit ini sembuh, manusialah yang
paling bertanggungjawab untuk menyembuhkan dengan cara , antara lain , kembali bersahabat dengan alam. Itu, tentu selaras dengan teologi ekologis. Walaupun demikian, teori saja, rupanya tidak cukup. Kini saatnya kita perlu berteopraksis: mempraktikkan Sabda Tuhan itu dalam alam nyata. Salah satu contohnya adalah dalam aspek ekologis. Dengan kata lain, di tengah
kerusakan bumi ini, saatnya kita berjuang
untuk membumikan teologi menjadi teopraksis. Kita dipanggil untuk
merawat keutuhan ciptaan Tuhan dengan berteopraksis seperti yang dilakukan oleh Pater Marsel Agot, SVD.
MEMBUMIKAN TEOLOGI
Dalam “Kamus Teologi”, yang
diterjemahkan oleh I. Suharyo, kata”teologi”
berasal dari dua kata Yunani yaitu ‘theos” yang berarti Tuhan dan
“logoi” yang berarti pengetahuan. Dengan demikian, secara sederhana, teologi
berarti pengetahuan mengenai Allah (Deki, hlm. 318, 2007). Dari pengertian itu, dapat disimpulkan bahwa teologi adalah disiplin ilmu yang secara khusus mempelajari tentang Allah. Berbicara tentang disiplin ilmu mengenai Allah
berarti , kita masuk dalam dunia intelektual yang didalamnya ada serentetan
refleksi yang rasional, sistematias dan ilmiah tentang Allah. Refleksi
iman dalam bingkai intelektual.
Bagaimana supaya refleksi yang rasional, ilmiah dan sistematis bisa berdaya guna dan bermanfaat untuk kehidupan di dunia ini? Jika teologi terpenjara dalam ruang intelektual yang bersifat teoretis semata, apakah tujuan mempelajari teologi sudah tercapai? Untuk menjawab pertnyaan ini, mari kita berpedoman pada Sabda Suci dalam Kitab Suci Perjanjian Baru , yang ditulis St. Yakobus dalam suratnya pada pasal 2, ayat 7: “Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati".
Teks ini, sangat jelas maknanya. Iman tidak boleh menjadi substansi yang statis, tidak bergerak, bahkan mati. Iman itu harus hidup dan berdaya pikat. Nah, bagaimana supaya iman itu hidup dan berdaya pikat? Caranya adalah melaui perbuatan nyata. Teologi harus masuk dalam ranah aplikasi. Teologi harus diwujudkan dalam aksi nyata. Dengan kata lain, kita harus membumikan teologi menjadi teopraksis.
Bagaimana supaya refleksi yang rasional, ilmiah dan sistematis bisa berdaya guna dan bermanfaat untuk kehidupan di dunia ini? Jika teologi terpenjara dalam ruang intelektual yang bersifat teoretis semata, apakah tujuan mempelajari teologi sudah tercapai? Untuk menjawab pertnyaan ini, mari kita berpedoman pada Sabda Suci dalam Kitab Suci Perjanjian Baru , yang ditulis St. Yakobus dalam suratnya pada pasal 2, ayat 7: “Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati".
Teks ini, sangat jelas maknanya. Iman tidak boleh menjadi substansi yang statis, tidak bergerak, bahkan mati. Iman itu harus hidup dan berdaya pikat. Nah, bagaimana supaya iman itu hidup dan berdaya pikat? Caranya adalah melaui perbuatan nyata. Teologi harus masuk dalam ranah aplikasi. Teologi harus diwujudkan dalam aksi nyata. Dengan kata lain, kita harus membumikan teologi menjadi teopraksis.
Apa
artinya membumikan teologi menjadi teopraksis? Menurut penulis, membumikan teologi menjadi teopraksis artinya mempraktikkan hasil refleksi rasional,
kajian ilmiah dan sistematis mengenai
Tuhan itu dalam kehidupan nyata. Meskipun
teologi merupakan refleksi sistematis, ia mesti keluar dari prasangka yang
menyanderanya untuk berkiprah hanya sebatas diskursus intelektual semata. Teologi
adalah suatu disiplin ilmu pengetahuan yang praksis, maka konteks yang tepat
bagi kegiatan refleksinya ialah dunia konkret manusia.(Deki, hlm, 318, 2008).
Ketika teologi diaplikasikan dalam ladang kehidupan konkret maka refleksi iman itu sungguh-sungguh menghasilkan buah yang nyata. Tentu ini sejalan dengan misi Yesus sendiri yaitu mewartakan Kerajaan Allah di dunia. Dalam teopraksis, kita menghadirkan Allah pencipta, Allah Pengasih, Allah Pemurah, Allah yang Maha Baik, dan kebaikan-kebaikan Allah lainnya. Kalau dalam teologi kita merefleksikan iman secara rasional dan sistematis bahkan disertai kajian ilmiah tentang Allah, maka dan dalam teopraksis kita menghadirkan wajah Allah secara konkret di bumi ini.
Ketika teologi diaplikasikan dalam ladang kehidupan konkret maka refleksi iman itu sungguh-sungguh menghasilkan buah yang nyata. Tentu ini sejalan dengan misi Yesus sendiri yaitu mewartakan Kerajaan Allah di dunia. Dalam teopraksis, kita menghadirkan Allah pencipta, Allah Pengasih, Allah Pemurah, Allah yang Maha Baik, dan kebaikan-kebaikan Allah lainnya. Kalau dalam teologi kita merefleksikan iman secara rasional dan sistematis bahkan disertai kajian ilmiah tentang Allah, maka dan dalam teopraksis kita menghadirkan wajah Allah secara konkret di bumi ini.
Dewasa ini, begitu banyak gerakan-gerakan dalam organisaasi-organisasi
Gereja ataupun organisasi sosial kemanusiaan yang berusaha untuk membumikan
teologi itu. Ada yang membumikan teologi dalam bidang lingkungan hidup, dalam
lingkungan sosial kemasyarakatan, dalam lingkungan pendidikan, budaya, politik,
dan lain-lain. Semua upayah itu adalah wujud nyata untuk menghadirkan wajah
Allah yang difrefleksikan dalam disiplin
ilmu teologi. Di sini, penulis hanya mau mengangkat salah satu sisi dari upaya
membumikan teologi kedalam teopraksis, yaitu, aspek ekologi.
Jagat
raya dengan segala isinya ini adalah
ciptaan Tuhan yang sungguh menakjubkan.
Dalam karya penciptaan, Allah telah menciptakan bumi dengan segala isinya
dengan begitu indah dan mengagumkan. Daratan, lautan, matahari, bulan,
bintang-bintang, dan segala makhuk diciptakan-Nya dengan begitu ajaib.
Kesadaran iman akan Allah Pencipta ini dirumuskan secara jelas dalam teks kitab
suci Perjanjian Lama yaitu Kejadian 1:1-2:7. Dari semua ciptaan yang ada, Manusia mendapat
tempat yang istimewa di hatiNya. Manusia
yang telah diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya telah dipercayakan untuk
mengelola alam semesta ini ( bdk. Kej
1:26-31). Manusia diciptakan untuk menjadi rekan kerja Allah di bumi. Sebagai rekan kerja Allah, manusia diberi
tugas yang sangat penting yaitu merawat,
menjaga, dan melestarikan alam semesta ini agar tetap baik adanya. Apakah manusia
sudah menjalankan amanat ini dengan baik dan bertanggung jawab?
Jika
kita mau jujur, amanat Tuhan dalam karya penciptaan, tidak dijalankan secara
baik oleh manusia. Hal ini ditandai dengan adanya krisis ekologi yang semakin
memprihatinkan. Teolog Jurgen Moltmann berpendapat
bahwa salah satu penyebab terjadinya krisis ekologi adalah cara berpikir yang
menempatkan manusia sebagai penguasa
dunia. (bdk. Deki, 2008: 373).
Padahal, menurut Jurgen, manusia adalah “imago mundi” yang berarti manusia hanyalah salah satu unsur/
bagian dari dunia. Manusia sangat
terikat dan tergantung kepada ciptaan lainnya. Menurutnya, sebagai “
imago mundi “ , manusia hendaknya menjadi wakil ciptaan yang bekerja sama, saling berhubungan dan
bergantung satu sama lain dalam kehidupan ini (Deki, 2008: 373).
Dari pemikiran Moltmann ini, sangat jelas kedudukan manusia di antara ciptaan lainnya. Artinya, manusia tidak bisa hidup sendirian di dunia ini. Dia terikat dengan ciptaan lainnya. Antara manusia dengan ciptaan lainnya ada saling ketergantungan. Manusia hanyalah bagian dari seluruh ciptaan dan hidupnya disangga oleh alam semesta. Oleh karena itu, manusia yang diciptakan menurut “gambar Allah” tidak hanya dimengerti secara personal , melainkan juga secara sosial dan ekologis, dalam hubungan dan tanggungjawab terhadap kehidupan bersama dan kehidupan alam semesta. (KWI, 2007: 151). Karena itu, sebagai makhluk yang dikaruniai akal budi dan hati nurani, sudah menjadi kewajiban manusia untuk melestarikan alam ini secara baik dan bertanggung jawab.
Dari pemikiran Moltmann ini, sangat jelas kedudukan manusia di antara ciptaan lainnya. Artinya, manusia tidak bisa hidup sendirian di dunia ini. Dia terikat dengan ciptaan lainnya. Antara manusia dengan ciptaan lainnya ada saling ketergantungan. Manusia hanyalah bagian dari seluruh ciptaan dan hidupnya disangga oleh alam semesta. Oleh karena itu, manusia yang diciptakan menurut “gambar Allah” tidak hanya dimengerti secara personal , melainkan juga secara sosial dan ekologis, dalam hubungan dan tanggungjawab terhadap kehidupan bersama dan kehidupan alam semesta. (KWI, 2007: 151). Karena itu, sebagai makhluk yang dikaruniai akal budi dan hati nurani, sudah menjadi kewajiban manusia untuk melestarikan alam ini secara baik dan bertanggung jawab.
KRISIS EKOLOGI
Salah
satu isu global yang sering dibahas
dalam berbagai pertemuan saat ini, baik
di tingkat lokal, tingkat nasional maupun di tingkat dunia adalah persoalan
ekologis. Berbagai data menunjukkan
bahwa kerusakan alam pada saat ini sudah berada pada tingkat yang sangat parah
dan memprihatinkan. Paus Fransiskus dalam ensiklik "laudato Si" mengangkat beberapa persoalan yang dihadapi dunia terkait krisis ekologi antara lain adanya polusi dan perubahan iklim, masalah air, hilangnya keanekaragaman hayati, penurunan kualitas hidup manusia, dan kemerosotan sosial (bdk. Harun, 2015: 25-40).
Krisis ekologi ini juga sudah diangkat oleh beberapa Paus sebelumnya. Salah satunya, Paus Yohanes Paulus II dalam amanatnya pada hari Perdamaian Dunia tanggal 8 Desember 1989 mengatakan “ Keseimbangan lingkungan yang halus dijungkirbalikan dengan menghancurkan secara membabibuta hidup binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan atau dengan menghabiskan sumber-siumber alam secara tak bertanggung jawab.” (KWI, 2007: 153). Masih Paus yang sama, dalam sambutannya pada Konggres Internasional mengenai Ekologi mengatakan: "Masalah lingkungan sekarang menjadi begitu luas, sehingga tidak hanya dituntut perhatian kita yang penuh, tetapi juga keterlibatan total, baik pada taraf ilmu maupun dalam keputusan-keputusan politik. Penemuan kembali keseimbangan dalam lingkungan hanya dapat terjadi kalau mau kembali kepada pemahaman yang benar mengenai kuasa manusia atas alam" (KWI, 2007: 152-153). Apa yang diangkat oleh para pemimpin Gereja ini benar adanya.
Sebut saja kerusakan hutan di berbagai negara akibat pembabatan liar telah menyebabkan bencana banjir dan tanah longsor. Selain itu, pengelolaan kekayaan hutan selama ini ditujukan untuk melayani kepentingan investasi tetapi mengabaikan fungsi-fungsi kawasan hutan sebagai tumpuan keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Pencemaran udara, tanah, dan laut di berbagai belahan bumi ini, semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dampak negatif dari dari pencemaran itu sangat dirasakan oleh semua makhluk hidup yang mendiami bumi ini, terutama manusia yang diberi mandat untuk menjaga bumi ini tetap utuh. Suhu bumi dari waktu ke waktu semakin meningkat akibat semakin menipisnya lapisan ozon.
Krisis ekologi ini juga sudah diangkat oleh beberapa Paus sebelumnya. Salah satunya, Paus Yohanes Paulus II dalam amanatnya pada hari Perdamaian Dunia tanggal 8 Desember 1989 mengatakan “ Keseimbangan lingkungan yang halus dijungkirbalikan dengan menghancurkan secara membabibuta hidup binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan atau dengan menghabiskan sumber-siumber alam secara tak bertanggung jawab.” (KWI, 2007: 153). Masih Paus yang sama, dalam sambutannya pada Konggres Internasional mengenai Ekologi mengatakan: "Masalah lingkungan sekarang menjadi begitu luas, sehingga tidak hanya dituntut perhatian kita yang penuh, tetapi juga keterlibatan total, baik pada taraf ilmu maupun dalam keputusan-keputusan politik. Penemuan kembali keseimbangan dalam lingkungan hanya dapat terjadi kalau mau kembali kepada pemahaman yang benar mengenai kuasa manusia atas alam" (KWI, 2007: 152-153). Apa yang diangkat oleh para pemimpin Gereja ini benar adanya.
Sebut saja kerusakan hutan di berbagai negara akibat pembabatan liar telah menyebabkan bencana banjir dan tanah longsor. Selain itu, pengelolaan kekayaan hutan selama ini ditujukan untuk melayani kepentingan investasi tetapi mengabaikan fungsi-fungsi kawasan hutan sebagai tumpuan keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Pencemaran udara, tanah, dan laut di berbagai belahan bumi ini, semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dampak negatif dari dari pencemaran itu sangat dirasakan oleh semua makhluk hidup yang mendiami bumi ini, terutama manusia yang diberi mandat untuk menjaga bumi ini tetap utuh. Suhu bumi dari waktu ke waktu semakin meningkat akibat semakin menipisnya lapisan ozon.
Belum
lagi perusahan tambang yang menggali
permukaan tanah bahkan hingga kedalaman yang tak terbayangkan. Saat menutup pertambangannya,
sistem hidrologi sebuah kawasan tertentu pasti akan terganggu. Juga lingkungan
sekitar akibat pembuangan limbah ikut tercemar. Dalam konteks ini, Siti Maimunah, Kordinator Jaringan Advokasi Tambang pada tahun 2006 berkata, "Jika dicermati, sebagian besar
perusahan tambang menggunakan air langsung dari alam. Di saat yang sama ,
mereka juga merusak sistem hidrologi tanah sekitarnya melalui penggalian
batuan. Saat perusahaan menutup tambangnya , lingkungan dan masyarakat sekitar
adalah “pewaris utama” jutaan ton limbah tambang dan kerusakan lingkungan serta
sosialnya.”(2006 : hlm. Vi)
Dalam nada yang hampir sama, KWI mengingatkan bahwa "Kesadaran manusia sebaga “gambar
Allah”, “wakil Allah”, “pusat dunia”, ini dapat menyeret manusia menjadi
pengisap alam semesta , penguasa sewenang-wenang terhadap ciptaan lain.” (2007: 151). Dari waktu ke waktu, kerusakan ekologis semakin parah. Meski
demikian, masih banyak manusia yang
tidak sadar dan terus dikuasai nafsu dan keserakahan untuk memperkaya diri,
bahkan menghalalkan segala cara untuk mencapai kepentingannya, termasuk
cara-cara kotor dan menjijikan. Ekploitasi kekayaan alam dan mengorbankan
penduduk lokal sudah sering terjadi. Begitu banyak cerita pilu tentang hancurnya
tempat tinggal penduduk lokal akibat perbuatan biadab dari sergelintir manusia
yang diburu harta dan kekuasaan. Ribuan hektar hutan dirusakkan demi kepentingan
pertambangan. Hutan-hutan digundulkan
dan dijadikan lahan perkebunan tanpa mempertimbangkan perwatan hutan
tertentu yang mutlak demi ketersediaan
sumber air dan penunjang iklim yang sejuk. Saat buminya hancur, tidak ada upaya
pemulihan, tetapi ditinggalkan begitu saja, dan selanjutnya mencari lahan baru
untuk mengeruk keuntungan dan merusak alam. Peristiwa seperti ini sudah sering
terjadi di berbagai belahan bumi ini. Tidak heran kalau bumi ini semakin rusak
parah.
PERTOBATAN EKOLOGIS
Di tengah kerusakan alam yang parah
itu apa yang harus kita lakukan? Apakah kita membiarkan kerusakan alam itu
terus terjadi? Tentu tidak. Sebagai
manusia yang dikaruniai akal budi dan hati nurani, tentu kita dipanggil untuk
menyembuhkan bumi yang sudah sakit parah ini. Tak ada ciptan Tuhan di dunia ini
yang lebih bermartabat selain manusia. Karena itu, sebagai manusia yang
bermartabat, sudah menjadi kewajiban kita untuk
mengatasi krisis ekologi ini secara besar-besaran.
Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si mengajak kita untuk terlibat dalam “aksi global yang terpadu dan segera” untuk mengatasi lingkungan hidup. Paus mendasarkan hidup dan karya Santu Fransiskus dari Asisi sebagai inspirasinya. Santu Fransiskus dari Asisi mengingatkan kita bahwa rumah kita bersama(bumi) bagaikan saudari yng berbagi hidup dengan kita, dan seperti ibu yang jelita yang menyambut kita dengan tangan terbuka.” (bdk. Harum, 2015: 10). Paus mengajak kita untuk mempraktikkan pertobatan ekologis.
Perjuangan merawat dan melestarikan lingkungan hidup adalah wujud nyata membumikan teologi menjadi teopraksis. Sebagai rekan kerja Allah, manusia harus tampil sebagai pemelihara ciptaan. Saatnya kita merawat kembali bumi yang sudah terluka ini agar kembali utuh sesuai dengan maksud Penciptanya. Untuk seratus persen pulih dari kerusakan bumi ini mungkin rasanya sulit, tetapi setidaknya, selagi kita bernafas, kita dipanggil untuk menjalankan amanat Tuhan sebagai rekan kerja-Nya dengan menjadi sahabat alam. Salah satu contoh teladan hidup menjadi sahabat bagi alam adalah sosok seorang iman yang sederhana dan bersahaja, yaitu Pater Marsela Agot SVD.
Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si mengajak kita untuk terlibat dalam “aksi global yang terpadu dan segera” untuk mengatasi lingkungan hidup. Paus mendasarkan hidup dan karya Santu Fransiskus dari Asisi sebagai inspirasinya. Santu Fransiskus dari Asisi mengingatkan kita bahwa rumah kita bersama(bumi) bagaikan saudari yng berbagi hidup dengan kita, dan seperti ibu yang jelita yang menyambut kita dengan tangan terbuka.” (bdk. Harum, 2015: 10). Paus mengajak kita untuk mempraktikkan pertobatan ekologis.
Perjuangan merawat dan melestarikan lingkungan hidup adalah wujud nyata membumikan teologi menjadi teopraksis. Sebagai rekan kerja Allah, manusia harus tampil sebagai pemelihara ciptaan. Saatnya kita merawat kembali bumi yang sudah terluka ini agar kembali utuh sesuai dengan maksud Penciptanya. Untuk seratus persen pulih dari kerusakan bumi ini mungkin rasanya sulit, tetapi setidaknya, selagi kita bernafas, kita dipanggil untuk menjalankan amanat Tuhan sebagai rekan kerja-Nya dengan menjadi sahabat alam. Salah satu contoh teladan hidup menjadi sahabat bagi alam adalah sosok seorang iman yang sederhana dan bersahaja, yaitu Pater Marsela Agot SVD.
PATER MARSEL AGOT,
SVD, SANG PEJUANG LINGKUNGAN HIDUP
Berbicara tentang tokoh pejuang lingkungan hidup di Keuskupan
Ruteng, nama Pater Marsel Agot, SVD
adalah sosok yang selalu disebut-sebut oleh banyak kalangan. Julukan pejuang
lingkungan hidup begitu melekat dalam dirinya. Bukan tanpa alasan. Kiprahnya di
bidang lingkungan hidup tidak diragukan lagi. Kepeduliannya terhadap lingkungan
hidup bukan hanya sekedar berkata-kata, tetapi beliau tunjukkan itu dalam aksi
nyata. Apa yang dilakukannya sejalan dengan mottonya “Bila ingin melestarikan
alam, mulailah dari diri sendiri.” Motto inilah yang selalu menjadi pegangan
hidupnya dan mendorongnya untuk selalu peduli dan mencintai lingkungan hidup.
Saya mengenal baik Pater ini sejak
kuliah di kampus UNIKA St. Paulus Ruteng (saat itu masih disebut STKIP St.
Paulus ). Sosoknya yang bersahaja,
rendah hati dan selalu murah senyum dengan siapa saja yang dijumpainya membuat
beliau sangat dekat dengan para mahasiswanya. Beliau juga dikenal sebagai sosok
imam yang murah hati dan selalu care dengan siapa saja. Dua hal yang sangat menonjol yang saya tahu dalam
seluruh perjalanan panggilan hidupnya yaitu sosoknya yang murah hati dan kecintaanya
kepada lingkungan hidup.
Kami banyak belajar dari beliau tentang bagaimana bermurah hati kepada semua orang terutama bagi mereka yang sedang menderita dan terlantar. Kami juga banyak belajar dari beliau tentang bagaimana merawat alam mulai dari hal-hal kecil. Saat di asrama, kami diajari untuk selalu membersihkan lingkungan asrama, membuang sampah pada tempatnya, membersihkan/menyikat got, kamar mandi, wc, kamar tidur dan tempat-tempat lainnya. Hal-hal sederhana itu rutin kami lakukan dan selalu dalam pengawasan beliau sebagai moderator asrama.
Bukan hanya itu, Setiap hari kami juga diberi tugas untuk merawat lingkungan kampus agar selalu terlihat asri seperti menata taman bunga dengan membentuknya dalam berbagai formasi: ada yang berbentuk hati, lingkaran, huruf V, dan berbagai formsi lainnya. Di tengah taman ditanami berbagai kembang dengan warna indahnya yang tiada tara. Hati dan mulut kami selalu berdecak kagum akan keajaiban Semesta manakala menyaksikan bunga-bunga cantik itu bermekaran menghiasi halaman kampus dengan warnanya yang beraneka ragam. Sungguh indah di pandang mata.
Di sekeliling taman dan halaman, kami juga diberi tugas oleh beliau untuk membuat pagar hidup dengan menanam bonsai, dan ujungnya selalu dipangkas secara teratur sehingga selalu terlihat rapi dan indah. Selain itu, dengan bimbingan beliau kami juga menanam rumput hijau yang sengaja dipesan secara khusus untuk ditanam di halaman kampus dan di lapangan bola kaki. Tidak hanya sebatas menanam, tetapi beliau selalu mengontrol dan memastikan agar rumput-rumput yang sudah ditanam harus hidup. Di musim kemarau, rumput-rumput itu disirami secara rutin agar selalu terlihat hijau. Di salah satu pojok kampus, ada hutan buatan yang juga merupakan hasil karya Pater Marsel. Di dalamnya ditumbuhi ratusan Pohon Mahoni yang berjejer rapi da
n sejuk.
Kami banyak belajar dari beliau tentang bagaimana bermurah hati kepada semua orang terutama bagi mereka yang sedang menderita dan terlantar. Kami juga banyak belajar dari beliau tentang bagaimana merawat alam mulai dari hal-hal kecil. Saat di asrama, kami diajari untuk selalu membersihkan lingkungan asrama, membuang sampah pada tempatnya, membersihkan/menyikat got, kamar mandi, wc, kamar tidur dan tempat-tempat lainnya. Hal-hal sederhana itu rutin kami lakukan dan selalu dalam pengawasan beliau sebagai moderator asrama.
Bukan hanya itu, Setiap hari kami juga diberi tugas untuk merawat lingkungan kampus agar selalu terlihat asri seperti menata taman bunga dengan membentuknya dalam berbagai formasi: ada yang berbentuk hati, lingkaran, huruf V, dan berbagai formsi lainnya. Di tengah taman ditanami berbagai kembang dengan warna indahnya yang tiada tara. Hati dan mulut kami selalu berdecak kagum akan keajaiban Semesta manakala menyaksikan bunga-bunga cantik itu bermekaran menghiasi halaman kampus dengan warnanya yang beraneka ragam. Sungguh indah di pandang mata.
Di sekeliling taman dan halaman, kami juga diberi tugas oleh beliau untuk membuat pagar hidup dengan menanam bonsai, dan ujungnya selalu dipangkas secara teratur sehingga selalu terlihat rapi dan indah. Selain itu, dengan bimbingan beliau kami juga menanam rumput hijau yang sengaja dipesan secara khusus untuk ditanam di halaman kampus dan di lapangan bola kaki. Tidak hanya sebatas menanam, tetapi beliau selalu mengontrol dan memastikan agar rumput-rumput yang sudah ditanam harus hidup. Di musim kemarau, rumput-rumput itu disirami secara rutin agar selalu terlihat hijau. Di salah satu pojok kampus, ada hutan buatan yang juga merupakan hasil karya Pater Marsel. Di dalamnya ditumbuhi ratusan Pohon Mahoni yang berjejer rapi da
Dalam semua yang kami lakukan di atas,
Pater sendiri turun langsung dan menjadi
sutradara kami dalam mengkreasi
lingkungan kampus menjadi tempat yang nyaman dan sejuk bagi setiap penghuninya.
Pater Marsel Agot telah banyak memberikan inspirasi bagi kami terutama untuk
selalu mencintai lingkungan hidup. Kampus itu terlihat asri, sejuk, indah,
hijau, karena jasa beliau. Beliau selalu mengajari kami untuk mencintai
lingkungan alam mulai dari diri sendiri, mulai dari hal-hal sederhana. Menata
taman, menanam bunga, rumput hijau, menanam berbagai jenis pohon, membersihkan
got, wc, kamar mandi, ruangan tidur, dan lain-lain, itulah yang selalu beliau
praktekkan bersama kami kala itu. Karena
teladan hidupnya ini, kami juluki Pater Marsel Agot sebagai tokoh pejuang dan
pencinta lingkungan hidup.
Saat ini pater
Marsel menetap dan berkarya di kota Labuan Bajo. Tempat yang sekarang menjadi
hotel Prundi yang sejuk, dulunya sangat gersang dan tanahnya
dipenuhi cadas dan bebatuan. Saat ini, tempat itu bagai taman Firdaus. Beberapa
kami kami berkunjung ke tempat ini, kami merasa seperti berada di taman Eden
karena lingkungannya yang sangat asri dan nyaman.
Bukan hanya itu. Di salah satu tempat di kota Labuan Bajo, pater juga mengubah sebuah tanah yang gersang nan tandus menjadi sebuah hutan yang sangat hijau dan sejuk. Hutan buatan ini diberi nama hutan Solohana. Di dalamnya ditanami ribuan pohon dalam berbagai jenis. Hasilnya sungguh luar biasa. Kini, beberapa mata air baru muncul di tengah hutan buatan itu. Mata air yang sudah membentuk sungai kecil itu kemudian ia menanam bunga teratai. Saat kita berkunjung ke tempat ini, rindangnya pepohonan ini mampu mengalahkan hawa panas yang menyengat di sekujur tubuh. Kicauan burung di antara ranting pohon terdengar indah dalam hembusan angin yang menyapa kalbu.
Beliau juga aktif dalam pergerakan masyarakat menolak tambang di wilayah Manggarai Raya. Saya masih ingat, perjuangan Pater dengan sejumlah aktivis lingkungan hidup yang bergabung dalam suatu organisasi masyarakat yang bernama GERAM (Gerakan Masyarakat Anti Tambang). Pada waktu itu, salah satu investor yang bekerja sama dengan pemerintah yang berkuasa saat itu, hedak membuka perusahaan tambang di salah satu tempat wisata andalan di sekitar kota Labuan Bajo.
Pater dengan sejumlah aktivis lingkungah hidup bekerja siang dan malam menentang dengan keras upaya investor dan penguasa terebut. Tidak mudah memang. Beberapa kali, sejumlah aktivis acapkali diteror dan diancam karena upaya penolakan itu. Tetapi Pater dan aktivis lainnya tak sedikit pun takut dan gentar. Perjuangan mereka akhirnya berhasil. Perusahaan tambang tidak diizinkan lagi untuk beroperasi di wilayah tersebut hingga saat ini.
Bukan hanya itu. Di salah satu tempat di kota Labuan Bajo, pater juga mengubah sebuah tanah yang gersang nan tandus menjadi sebuah hutan yang sangat hijau dan sejuk. Hutan buatan ini diberi nama hutan Solohana. Di dalamnya ditanami ribuan pohon dalam berbagai jenis. Hasilnya sungguh luar biasa. Kini, beberapa mata air baru muncul di tengah hutan buatan itu. Mata air yang sudah membentuk sungai kecil itu kemudian ia menanam bunga teratai. Saat kita berkunjung ke tempat ini, rindangnya pepohonan ini mampu mengalahkan hawa panas yang menyengat di sekujur tubuh. Kicauan burung di antara ranting pohon terdengar indah dalam hembusan angin yang menyapa kalbu.
Beliau juga aktif dalam pergerakan masyarakat menolak tambang di wilayah Manggarai Raya. Saya masih ingat, perjuangan Pater dengan sejumlah aktivis lingkungan hidup yang bergabung dalam suatu organisasi masyarakat yang bernama GERAM (Gerakan Masyarakat Anti Tambang). Pada waktu itu, salah satu investor yang bekerja sama dengan pemerintah yang berkuasa saat itu, hedak membuka perusahaan tambang di salah satu tempat wisata andalan di sekitar kota Labuan Bajo.
Pater dengan sejumlah aktivis lingkungah hidup bekerja siang dan malam menentang dengan keras upaya investor dan penguasa terebut. Tidak mudah memang. Beberapa kali, sejumlah aktivis acapkali diteror dan diancam karena upaya penolakan itu. Tetapi Pater dan aktivis lainnya tak sedikit pun takut dan gentar. Perjuangan mereka akhirnya berhasil. Perusahaan tambang tidak diizinkan lagi untuk beroperasi di wilayah tersebut hingga saat ini.
Contoh-contoh
di atas menunjukkan bahwa Pater sungguh
mengaplikasikan teologi menjadi teopraksis. Dari altar gereja menjadi altar
alam. Tidak hanya berteori tetapi langsung praktek. Karya hidup yang sungguh
indah dan menginspirasi banyak orang. Semangat dan teladan hidupnya telah
memberikan contoh kepad masyarakat bahwa penghijauan dapat menyelamatkan bumi
ini dari kerusakan lingkungan. Saat pater menyaksikan begitu banyaknya kawasan
hutan yang semula sungguh indah dan hijau, tetapi kemuduan berubah dan gundul
oleh kejamnya para kontraktor pertambangan dan pembabat liar, hatinya
benar-benar hancur dan sedih. Namun, beliau tidak hanya sebatas meratapi alam
yang rusak itu. Pater sendiri terjun langsung ke lokasi. Beliau tidak hanya bersimpati dengan alam
tetapi berempati dengan alam. Pater berdiri di paling depan merawat kembali
hutan yang rusak itu mulai dari dirinya sendiri.
PENUTUP
Teologi adalah disiplin ilmu
yang secara khusus mempelajari tentang
Allah. Agar refleksi iman yang rasional,
ilmiah dan sistematis tentang Allah itu
bisa berdaya guna dan bermanfaat untuk
seluruh kehidupan di dunia ini maka teologi harus masuk dalam ranah
aplikasi. Dengan kata lain, kita harus
membumikan teologi menjadi teopraksis.
Hal ini sejalan dengan misi Yesus
sendiri yaitu mewartakan Kerajaan Allah di dunia. Dalam teopraksis, kita menghadirkan wajah Allah secara konkret
di bumi ini. Salah satu upaya membumikan teologi kedalam teopraksis,
yaitu, aspek ekologis.
Dalam karya penciptaan, Allah telah menciptakan bumi dengan segala isinya dengan
begitu indah dan mengagumkan. Dari semua ciptaan yang ada, manusia yang telah
diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya telah dipercayakan untuk mengelola alam
semesta ini ( bdk. Kej 1:26-31).
Sayangnya, manusia tidak mampu menjalankan amanat Tuhan ini dengan baik. Bumi
ini tidak lagi indah seperti sedia kala. Di tengah kerusakan alam ini, kita
dipanggil untuk melakukan aksi nyata untuk memulihkan alam ini sesuai dengan
maksud pencipta-Nya. Saatnya untuk kembali bersahabat dengan alam.
Salah satu contoh teladan hidup
menjadi sahabat bagi alam adalah Pater
Marsel Agot, SVD. Kepeduliannya terhadap lingkungan hidup bukan hanya sekedar
berkata-kata, tetapi beliau tunjukkan itu dalam aksi nyata. Apa yang
dilakukannya sejalan dengan mottonya “Bila ingin melestarikan alam, mulailah
dari diri sendiri.” Motto inilah yang selalu menjadi pegangan hidupnya dan
mendorongnya untuk selalu peduli dan mencintai lingkungan hidup.
Akhirnya, dari ketulusan hati saya ucapkan selamat ulang tahun kelahiran yang ke-70 pater. Semoga pater selalu sehat dan bahagia di usia senja ini. Terima kasih sudah menampilkan wajah Allah dalam seluruh karya hidup dan panggilan Pater. Semoga wajah Allah yang telah Pater tampilkan ini, dapat kami hayati dalam ziarah hidup kami di dunia ini.
Akhirnya, dari ketulusan hati saya ucapkan selamat ulang tahun kelahiran yang ke-70 pater. Semoga pater selalu sehat dan bahagia di usia senja ini. Terima kasih sudah menampilkan wajah Allah dalam seluruh karya hidup dan panggilan Pater. Semoga wajah Allah yang telah Pater tampilkan ini, dapat kami hayati dalam ziarah hidup kami di dunia ini.
REFERENSI:
Deki, Kanisius T.( Editor). (2008), Menjadi Abdi, Menghalau Gelap Budi, Menyingsing Fajar Pengetahuan. Maumere: Ledalero.
Harun Martim (Penerjemah), 2015. Ensiklik Laudato Si' , Paus Fransiskus, Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama, Jakarta: Obor
Konferensi Wali Gereja Indonesia. 2007. Iman Katolik, Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta: Kanisius
Harun Martim (Penerjemah), 2015. Ensiklik Laudato Si' , Paus Fransiskus, Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama, Jakarta: Obor
Konferensi Wali Gereja Indonesia. 2007. Iman Katolik, Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta: Kanisius
Muhammad
Chalid dan Maimunah Siti, (Editor). (2006), Tambang dan Penghancuran Lingkungan, Jakarta Selatan: Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).
Tulisan yang luar biasa Ibu dan begitu inspirasi. Membakar semangat untuk lebih sadar menghargai lingkungan sekitar.
BalasHapusTerima kasih enu molas sudah membaca artikel ini. Salam bumi hijau
HapusMantap kk senior. Heheheh.
BalasHapusSaya alumni teologi UNIKA St. Paulus Ruteng
Terima kasih yah, sudah membaca tulisanku. Wow.. ternyata kita dididik dalam rahim yang sama. Kalau boleh tahu, alumni tahun berapa pak?
Hapus