JERITAN HATI DARI MEREKA YANG GAGAL DALAM PPDB ONLINE
JERITAN HATI DARI MEREKA YANG GAGAL DALAM PENDAFTARAN PPDB ONLINE
by: YTH
Usai sudah tahap pertama pendaftaran online tingkat SMAN I Komodo. Ada banyak cerita yang membekas dalam proses ini, baik dari panitia PPDB maupun dari calon peserta didik serta orang tua/wali yang mengambil bagian dalam proses ini. Dalam tulisan ini, saya tidak bermaksud untuk menguraikan semua kisah itu di sini. Untuk mereka yang sukses mendaftar di tahap ini, tentu sukacita memenuhi ruang hati karena impian untuk masuk di taman pendidikan ini bakal tercapai. Tetapi bagi mereka yang gagal tentu ceritanya berbeda. Karena itu dalam goresan sederhana ini, saya hanya mengangkat jeritan hati dari mereka yang gagal dalam pendaftaran PPDB Online ini.
Kecewa, sedih, kesal, putus asa, menyesal, gundah gulana, galau, itulah rasa yang tergambar dalam raut wajah sebagian besar orang tua/ wali dan calon peserta didik yang gagal masuk saat pendaftaran PPDB Online di SMAN I Komodo. Asa yang tertancap dalam dada akhirnya kandas di tengah jalan karena terbentur pada aturan yang telah ditetapkan pemerintah dalam sistem PPDB online. Yang paling banyak kecewa adalah mereka yang berasal dari luar zona ( di luar kecamatan Komodo). Saya tahu, mereka datang dari berbagai pelosok di wilayah Manggarai Barat ini, bahkan ada yang datang dari kabupaten tetangga, hanya untuk bisa mendaftar di SMAN I Komodo ini. Sejuta asa memenuhi relung hati untuk bisa meraih mimpi di taman pendidikan ini. "Kami sungguh kecewa ibu, karena jauh-jauh datang dari kampung hanya untuk bisa masuk di sekolah ini. Ternyata sampai di sini, kuotanya sudah penuh". Kata seorang bapak dengan raut wajah yang sedih. Seorang ibu yang sudah janda juga bercerita dengan mata yang berkaca-kaca, " Kami start pagi buta dari kampung untuk bisa sampai ke sini lebih cepat. Saya punya anak ini mau daftar lewat jalur afirmasi karena mempunyai kartu PKH. Saat masuk di websitenya untuk daftar, kuotanya ternyata sudah penuh padahal baru hari kedua". "Saya terlambat dalam hitungan detik, lagi satu langkah untuk lolos pendaftaran melalui jalur afirmasi, sistemnya sudah terkunci secara otomatis karena kuotanya sudah penuh", cerita seorang bapak dengan nada yang penuh penyesalan. " Saya tidak mau sekolah di kampung lagi Bu. Saat SD dan SMP saya sekolah di kampung, masa SMA di kampung terus? Saya mau suasana yang baru. Atas dasar itu makanya saya nekad datang ke sini untuk daftar, ternyata kuotanya sudah penuh," kata seorang calon peserta didik dengan penuh kekecewaan. Seorang wali dari calon peserta didik yang lainnya juga berkisah, " Bu, anak ini, berasal dari kampung dan keluarganya tidak mampu untuk biaya sekolahnya. Makanya kami bantu agar dia bisa sekolah di sini, dan tinggal bersama kami. Sayangnya jalur zonasi sudah penuh pada hari pertama".
Itulah beberapa kisah sedih yang saya dengar langsung ketika berhadapan dengan para orang tua/ wali dan calon peserta didik yang gagal dalam pendaftaran PPDB Online SMAN I Komodo. Untuk mereka yang gagal karena tidak lengkap persyaratan administrasi, saya tidak terlalu persoalkan karena itu adalah kelalaian mereka sendiri. Yang membuat hati saya sedih dan prihatin adalah mereka yang berasal dari keluarga yang sangat sederhana dan hanya mampu mendaftar di sekolah negeri, tetapi akhirnya gagal masuk karena kuotanya sangat terbatas. Akh.... membayangkan lagi wajah-wajah yang penuh kekecewaan itu, hati ini sungguh sedih . Andai saja bisa, ingin sekali hati ini merangkul, memeluk, dan mengatakan kepada mereka semua, "marilah , ini rumah kita bersama. Mari bersekolahlah dengan penuh sukacita di taman pendidikan ini, karena lembaga ini hadir untukmu." Sayangnya, jeritan hati ini tak bisa terwujud karena aturan pendaftaran PPDB ONLINE .
Ini tahun yang ketiga sistem pendaftaran PPDB Online ini dijalankan. Sayangnya, dalam perjalanannya, begitu banyak keluh kesah dari masyarakat akan sistem ini. Keluhan yang terbanyak adalah tentang sistem zonasi ini. Pemerintah tentu punya pertimbangan tertentu mengapa sistem zonasi ini diterapkan (tentang ini, saya pernah tulis di laman Facebook ini juga pada bulan Juni 2019, judul: "plus minus PPDB sistem Zonasi").
Berangkat dari pengalaman selama ini, sekolah ini selalu menjadi serbuan calon peserta didik yang datang dari berbagai kecamatan di Manggarai Barat ini. Bahkan yang terbanyak adalah di luar zona satu dan dua ( di luar kecamatan Komodo).
Dengan melihat banyaknya animo masyarakat untuk masuk di sekolah negeri dalam kota ini baik tingkat SMA maupun SMK, maka saya berpikir bahwa , di kota ini kebutuhan akan hadirnya sebuah SMA negeri dan SMK NEGERI adalah sesuatu yang mendesak untuk dipikirkan pemerintah. Ada beberapa alasan mengapa saya berpendapat seperti ini. Pertama, kota Labuan Bajo adalah kota pariwisata bahkan kelasnya naik menjadi super premium. Hal ini tentu berdampak pada pertambahan jumlah penduduknya. Karena bertambahnya jumlah penduduk maka kebutuhan akan hadirnya lembaga pendidikan formal tentu semakin meningkat. Sayangnya, sudah 17 tahun usia kabupaten ini, sekolah negeri tingkat SMA dan SMK di pusat kota ini hanya satu. Tentu kondisi ini sangat tidak seimbang jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya yang semakin bertambah dari waktu ke waktu.
Kedua, jika dilihat dari pengalaman pendaftaran PPDB dari tahun ke tahun, jumlah peserta yang mendaftar di sekolah negeri baik tingkat SMA maupun SMK di kota Labuan Bajo ini, selalu membludak. Padahal jika dilihat dari jumlah sekolah negeri yang tersebar di berbagai kecamatan di kabupaten-kabupaten Manggarai Barat, mestinya calon peserta didik yang berasal dari luar kota, semakin berkurang jumlahnya. Tetapi yang terjadi justru terbalik. Calon peserta didik dari luar kota tetap saja menyerbu'sekolah negeri di kota ini. Namun sebagian besar dari mereka gagal karena kuotanya sangat terbatas.
Berangkat dari realita ini, Saya berpikir bahwa sudah saatnya pemerintah perlu memikirkan masalah ini dengan serius. Jika tidak, maka cerita pilu ini akan terus terulang dari tahun ke tahun.
Semoga jeritan hati anak bangsa ini bisa didengar oleh mereka yang menjadi penentu kebijakan. Mungkin catatan sederhana ini tak berarti apa-apa, bahkan mungkin tulisan ini dianggap sebagai ocehan di pinggir jalan dari seorang guru kecil seperti saya ini. Apa pun anggapan itu, itu hak setiap orang untuk menilainya, tetapi bagi saya tulisan ini adalah salah satu bentuk kepedulian saya terhadap mereka yang dibatasi haknya untuk mengenyam pendidikan di kota ini. Semoga jeritan hati ini bisa didengar dan ditindaklanjuti oleh para pengambil kebijakan.
Salam.
Labuan Bajo, 24 Juni 2020
Komentar
Posting Komentar